Welcome to my blog :)

rss

Kamis, 22 April 2010

New Love For My Life

Hiruk pikuk keramaian kota tak jua membuatku terperangah untuk mengikuti kesibukan yang mereka lakukan. Aku tetap tenang di depan laptop ku, menyusun skripsi yang tengah aku jalani. Mereguk masa 3 tahun di bangku perkuliahan, membuatku bernafas lega. Karena aku tak harus selalu merepotkan orang tuaku dengan biaya kuliah yang segunung itu. Untuk membuat skripsi yang memuaskan, itu sangat tak mudah. Sebelum aku membuat peta konsep, aku harus melakukan penelitian yang sesuai dengan tema skripsi. Dan dari situlah aku memiliki pengalaman yang tak terlupakan.

Tepat sehari setelah dosen memberi tugas skripsi, aku mencoba meminta pendapat sahabatku tentang penelitian yang aku rencanakan. Entah mengapa hatiku begitu mantap untuk menuruti kemauanku.

“Sar, mulai besok aku mau ngelamar kerja jadi guru SLB di dekat kampus kita. Selain nambah uang saku, gue juga mau ngelakuin penelitian di sana buat skripsi. Menurut kamu gimana?”

“Loe, yakin? Mendidik anak-anak SLB bukan perkara yang mudah lho.” Aku mengangguk.

Melanjutkan omongannya, “Kalau loe benar-benar sanggup, gue selalu ngedukung loe kok.”

“Hm… tapi aku butuh bantuan kamu Sar.”

“Bantuan? Bantu doa maksud loe? Hehe..” tanyanya meledek aku.

“Aku serius, Sar.”

“Haha.. iya, nggak usah ngambek gitu donk.”

“Kamu kan anak emasnya Pak Rudi, jadi…”

Sarah memotong pembicaraanku, “Ah.. nggak ada yang diistimewakan.” Katanya merendah.

“Aku hanya sedikit demi sedikit mengurangi kesibukan Pak Rudi.”

“Kamu memang pantas jadi asdos Pak Rudi.” Kataku bangga.

“Hei, kamu butuh bantuan apa?” Tanya Sarah serius.

“Aku butuh surat pengajuan dari Pak Rudi untuk mengajar di SLB.”

“Ok lah. Insya Allah, dalam seminggu ini udah beres.”

“Makasih ya.” Aku melirik jam di tanganku, “Ya ampun, aku harus ketemu sama Pak Dito. Duluan ya.”

Omongan Sarah dapat aku pegang. Seminggunya aku melamar pekerjaan di SLB, butuh waktu seminggu untuk mendapat kepastian dari komite sekolah. Mungkin mereka sedikit ragu, karena aku belum memilki title apapun. Dan aku hanya mengikut sertakan foto kopian kartu mahasiswi ku. Rasa pesimis yang hinggap dalam benakku, kian sirna.

“Dengan saudari Dea Intan Paramita?” Tanya Pak Kepala SLB.

“Iya, saya Pak.”

“Mari silahkan duduk.” Aku menuruti perkataan calon atasanku itu,

“Ok! Anda seorang mahasiswi dari universitas ternama, dan prestasi yang anda milki membuat anda dapat mempersingkat masa kuliah anda. Dengan pertimbangan yang saya miliki… “ Pria separuh baya itu membolak-balikkan lembaran kertas yang ada di telapak tangannya, sesekali dia melihat paras keteganganku.

“Anda bisa bergabung dengan kami.”

Wajahku yang sedari tadi pucat tak bercahaya, kini senyum tak hentinya mengembang di bibirku. Aku memang ingin sekali mengajar di SLB ini, banyak manfaat yang nantinya akan aku dapatkan. Setengah jam aku mendengarkan pengarahan dari Pak Feri untuk menjalankan tugasku. Meski aku hanya guru pengganti, tapi setidaknya aku bisa lebih dekat dengan adik-adikku yang kurang beruntung.

Ini hari pertamaku mengajar. Rasa khawatir menemani keraguanku. Aku hanya takut, mereka tak menyukaiku. Tapi aku harus membuang jauh semua keraguan itu. Langkah kakiku kian dekat menuju kelas yang berada di lantai dua itu. Tiada kegaduhan yang terdengar dari jarak sekitar dua meter. Beda sekali dengan sekolah biasa.

“Selamat pagi semuanya.” Sapaku seramah mungkin.

“Ss..se..sla..ma..mat pa..a..gi.” jawab mereka terbata-bata.

Penyambutan yang cukup membuatku yakin. Membawaku dalam rasa gundah, mudah-mudahan aku sukses mengajar mereka. Akhirnya keinginanku terwujud. Sudah hampir dua minggu aku di sini. Aku merasa sangat beruntung, dapat bertemu mereka, setidaknya aku dapat bersyukur. Meski aku tak secantik ratu kampus, Agni. Dan aku tak sepopuler Wina, ataupun secerdas sahabatku, Sarah. Tetapi aku memiliki panca indera yang dapat aku gunakan. Alhamdulillah.

Saat waktu istirahat, aku berusaha untuk mengajak mereka bicara, berinteraksi seperti anak-anak biasa. Ada sosok murid, yang membuatku kagum kepadanya. Namanya Yola, dia murid paling cerdas dikelas.

“Yola, kamu sudah memakan bekalmu?” tanyaku disertai bahasa tubuh.

“U.. dah. Bbu Ggu..ru.”

“Iya sayang. Kenapa”

“Bbe.. lakang.”

Aku segera menoleh ke arah belakangku, hari tak terduga. Sosok itu adalah….

“Dea?”

“Hadi?” aku masih tak percaya, pria masa laluku hadir kembali dalam kehidupanku. Di waktu dan tempat yang sama sekali tak pernah aku duga sebelumnya.

“Apa kabar? Kamu kerja di sini?”

“Iya, kamu…?”

Yola menarik kemejaku, “Om nya Yo..ool..a.”

“Iya. Yola ini keponakanku,De. Dia anak Mbak Yuli.”

“Astaghfirullah, Mbak Yuli?”

“Kasihan Mbak Yuli. Tapi aku bersyukur, dia bisa tegar meskipun Mas Reza pergi begitu saja.”

“Mbak Yuli memang sangat kuat.” Pandanganku beralih pada Yola, tapi ia tak Nampak dalam pengawasanku. Hadi yang sedari tadi memperhatikan tingkahku, seperti mengerti apa yang aku rasakan.

“Yola tadi main sama temannya, biarkan saja. Yola memang harus belajar mandiri. Udah lama ya kita nggak ketemu, ternyata kita ketemu lagi. Kapan-kapan kalau kita jalan gimana?”

“Tergantung waktu, Di. Maaf ya aku tinggal, masih ada kerjaan di kantor. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Denting jam tak hentinya mengisi kesunyian malam. Di dalam kamar kost yang berukuran 3x4 m itulah aku tinggal, jauh dari keluarga. Aku terkadang berpikir, apakah kerja keras orang tuaku dan aku akan terbayar dengan sepadan. Mengingat jumlah sarjana yang menganggur makin menjulang tinggi.

“Bip..bip…” ponselku yang tergeletak diatas kasur, meminta untuk aku pijat.

Asskum. De, aku lihat di jalan ada pameran buku murah. Aku masih ingat, kamu dulu suka baca, dan aku yakin hobi kamu masih sama. Kalau kamu mau, kita ke sana bareng. Hm.. aku pasti senang kalau kamu menerima ajakanku.

Hadi.

Dia masih ingat kebiasaanku dulu. Kebetulan aku masih butuh buku tambahan untuk membuat skripsiku, tapi kenapa harus bersama dia. Tapi tak apalah, biar saja hati ini terus belajar, belajar memaafkan.

Waskum. Insya Allah aku bisa, mungkin besok kita ke sana. Kita ketemu di sekolahan aja setelah kbm selesai.

Degup jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, badanku di aliri keringat dingin yang semakin deras, dan perutku. Ough… melilit. Alhasil, tempat pembuanganlah finalnya. Aku memang tipe yang mudah stress dan gugup hanya karena masalah sepele.

Rasa letih yang hinggap di ragaku tak bisa aku hindari, tapi aku harus menepati janjiku pada Hadi. Dan untunglah hari ini tidak ada jam kuliah, jadi nanti sore aku bisa istirahat.

“Dea.” Hadi menghampiriku.

“Hei, udah lama nunggunya?”

“haah.. hah...hoshh..hossh.. aku baru sampai.” Jawabnya terengah-engah.

“Loh, kamu kenapa? Ayo duduk dulu.” Aku mengeluarkan botol minumanku, dan menyodorkannya ke Hadi. Dan Hadi pun meneguknya.

“Motorku mogok, lalu aku bawa ke bengkel, ya akhirnya aku lari ke sini.”

“Di, padahalkan bisa ditunda.”

Hadi tersenyum melihatku panic, “Untuk bertemu kamu, aku nggak mau menunda waktu.”

Aku tersipu, ternyata rasa itu masih melekat. Hadi adalah mantan kekasihku saat aku SMA dulu. Tapi dia meninggalkanku dengan alasan yang menurutku itu semua fiktif. Kami pergi ke sana dengan angkutan umum, sama persis dengan kejadian 7 tahun yang lalu.

Sesampai di toko buku, kami berpencar. Aku mencari-cari buku tentang psikologi, sedangkan Hadi, aku tak tahu ia melihat apa. Buku-buku nan tertata rapi itu, satu demi satu aku hayati resensinya. Tapi daya konsentrasiku memudar saat suara yang sangat aku kenal itu berbicara dekat sekali dengan telingaku, ia adalah Hadi.

“Jika aku memiliki kekasih, aku ingin aku dan kekasihku seperti lukisan abstrak. Meski mereka tak mengerti, tapi kita mengerti. Dan keindahan yang tersembunyi biarlah menjadi estetika bagi penikmat cinta yang sesungguhnya.”

Spontan aku menjawab, “Jika aku memiliki kekasih, aku ingin aku dan kekasihku seperti sepasang merpati. Yang tak pernah ingin bercinta kecuali dengan pasangan hidupnya.”

Dia membalas,”Jika waktu dapatku putar. Tak kubiarkan kelinci dungu menjadi symbol hati. Agar aku dapat bertemu sang merpati yang terlukis dalam lukisan abstrak.”

Aku tertawa kecil, “Kok jadi aneh begini? Ha.. kamu ganggu konsenku nih. Hehe.”

“Aku serius, kalau kamu mau. Aku mau melamar kamu.”

Aku terperangah, mana bisa aku menerima pinangan Hadi,”Aku mau kita bicara. Tapi bukan di sini.”

Di sepanjang jalan, dia selalu membicarakan masa lalu kami yang indah-indah saja. Tanpa dia tahu, rasa pahit yang kutelan selama bertahun-tahun. Sedangkan dia bagai meminum madu. Sungguh naas.

Hadi, membuka kotak yang berisi cincin, “Apa kamu mau menjadi istriku? Dan kita akan seperti sepasang merpati.”

Aku menutupnya, “Mungkin terlambat jika aku meminta kejelasan tentang perpisahan kita. Tanpa kamu jelaskan, aku dapat menerka dari puisi yang kamu katakan tadi di toko buku. Entah bagaimana aku menata hati saat kamu meninggalkan aku. Wanita yang sangat mencintaimu, aku tergopoh-gopoh menjalani hari. Bagai kehilangan satu kaki tempat aku berjalan. Menelusuri jalan terjal, sendiri. Kamu tak menuntunku,apalagi merangkulku. Kau justru membuatku makin tersungkur, dengan segala tingkahmu. Sampai saatnya aku bertemu tongkatku, meski tak sesempurna kakiku yang dulu. Tapi setidaknya ia begiitu tulus. Waktu pun bergulir, tongkatku berubah wujud menjadi kaki palsu. Aku bersyukur, dapat memiliki kaki. Dan yang harus kamu tahu, kaki asliku tak akan pernah mungkin kembali. Karena ia telah lepas dari anggota tubuhku. Bila disambungkan tetap saja tak bisa seperti dulu. Jadi apalah bedanya kaki asliku dengan kaki bantuan.”

“Siapa yang kamu maksud kaki bantuanmu?”

“Dia sepupu sahabatku. Sarah memang iseng, dia menjadi mak comblang antara aku dan Regi.”

“Regi?” tanyanya heran.

“Sebentar lagi dia datang untuk menjemputku. Aku mau kalian bersahabat.”

Hadi masih tak percaya dengan apa yang terjadi, tak lama Regi datang. Aku meminta Regi dan Hadi bicara empat mata. Sedangkan aku memilih menjauh dari mereka.

“Dea banyak cerita tentang kamu. Aku tidak menyangka gadis sebaik Dea, kamu sia-siakan begitu saja.”

“Kamu beruntung. Tapi seharusnya aku yang memilikinya.” Katanya geram.

“Aku mencintai Dea.” Regi berkaca-kaca.

“Dulu dan sekarang aku mencintai Dea. Kenapa kamu tidak melepasnya?”

“Aku rela. Jika Dea mau menerimamu. Tapi sayangnya Dea juga mencintaiku, dia bahkan menerima lamaranku.”

Aku menghampiri mereka, aku tak tahu harus berkata apa. Aku masih mencintai Hadi, tapi di lain sisi aku mau membuka lembaran baru bersama Regi, dan belajar mencintainya.

“De, maafin semua kesalahanku. Aku mau hidup dengan kamu?” Hadi menatapku dalam.

“Aku…”

“Kamu bisa meninggalkan aku. Aku ikhlas.” Regi membuatku tercengang.

“Maaf, aku lebih memilih…… Regi. Maafin aku, Di. Aku mau membuka lembaran baru. Biarkan saja kisah kita menjadi kenangan. Bagiku Regi akan mampu membuat cintaku seperti sepasang merpati. Kesetiaan itu kunci utama.”

Hadi tertunduk lesu, dia pergi meninggalkan aku dan Regi. Kini aku makin memaknai bahwa cinta tak harus memiliki. Biarlah aku melepas orang yang aku cintai, dan hidup dengan Regi. Aku yakin, Regi benar-benar mencintaiku. Hikmah dari semua ini membuat aku memilki suatu prinsip. Dicintai lebih baik daripada mencintai. Kita bisa belajar mencintai, tapi kita tidak bisa memberi perintah kepada seseorang untuk mencintai kita. Alangkah indahnya dicintai.